Anak
Pedagang Sayur
Oleh Ceria Kristi Br Tarigan
Pagi itu Dimas
terlambat sepuluh menit masuk sekolah. Hampir semua murid hafai itu.
Akhir-akhir ini Dimas sering terlambat. Dimas si tukang terlambat, begitu
julukan untuknya. Ia juga langsung memasuki ruang kelasnya itu.
“Maaf, Bu. Saya
terlambat lagi,” kata Dimas mengaku salah.Sebenarnya Dimas sudah berjanji untuk
tidak mengulanginya lagi. Untung saja Bu Sumi masih memebrikan izin masuk.
“Sudah berulang kali
kamu terlambat. Kalau terus begini, kapan kamu disiplinnya. Kenapa kamu sering
terlambat, Nak?tanya Bu Sumi penasaran. Wajah Bu Sumi mencari tahu alasan Dimas
yang masuk akal. Tapi Bu Sumi tidak melanjutkan. Ia tak ingin membuat malu di
depan teman teman.
“Baik, silakan duduk,
Nak. Besok jangan terlambat lagi, ya,” pesan Bu Sumi lagi.
Esok pagi, lagi-lagi
Dimas mengulangi perbuatannya. Wajah Bu Sumi semakin memerah, kesal kepada
Dimas. Akhirnya Dimas mendapatkan hukuman membersihkan halaman sekolah. Lalu
ketika bel istirahat, tampak Putri menghampiri Dimas yang duduk di bawah pohon
rindang depan kelas mereka. Awalnya Putri tidak begitu akrab dengannya.
“Dimas, kenapa sih kamu
sering terlambat?” tanya Putri penasaran. Apa kamu enggak malu, terlambat
terus?”
“Enggak tahu,” jawab
Dimas sambil berlalu pergi.
Putri pun sebal sekali.
Ia malah dicueki. Hmm..Ya sudah, kalau tak akan tanya-tanya lagi, gumam Putri
dalam hati.
Sepulang sekolah, Putri
dijemput oleh Ibunya. Kebetulan Ibunya bertemu dengan Dimas.
“Lho, Nak Dimas. Kamu
teman sekolahnya Putri, ya? Wah tante baru tahu,” kata Ibu Putri. Putri
terkejut.
“Ibu salut sama kamu,
anak yang rajin,” puji Ibu Putri. Dimas mengganguk-angguk. “Iya, Bu. Mari, Bu,”
kata Dimas dengan senyum ramah.
“Bu, kenapa sih kok
puji-puji dia?” tanya Putri.
“Mungkin ia
merahasiakannya, Nak. Kebetulan Ibu sudah langganan sayur-sayuran dengan Ibunya
di pasar. Memang sudah dua minggu Dimas membantu Ibunya di pasar. Katanya,
Ibunya kerepotan semenjak ayahnya meninggal. Biasanya Ayahnya yang membantu.”
“O.. begitu ya, Bu. Ternyata
aku salah, “ jawab Putri menyesali perbuatannya.
“Iya, makanya Ibu
sampaikan begitu. Bukan memuji tapi memang benar. Esok Ibu ajak ke pasar, ya.”
Hari Minggu telah tiba.
Udara segar pagi itu membuat Putri tak sabar melihat Dimas.
“Wah, Bu Wani cepat
sekali,” sapa Ibu Dimas dengan ramah. Bu Wani pun memilih sayuran segar. Putri
heran dan terkejut apa yang dilakukan oleh Dimas. Ternyata Putri percaya. Ia
langsung meminta maaf kepada Dimas.
“Jadi ini alasan kamu,
Dim. Aku baru tahu. Maafkan aku, ya. Aku akan membantumu agar enggak terlambat
lagi,” kata Putri.
“Kamu enggak perlu
minta maaf. Seharusnya, aku yang minta maaf. Aku sudah cuekin kamu. Memang aku
merahasiakannya. Aku enggak mau teman lain tahu. Aku berjualan di pasar.”
“Kamu salah, Dim. Semua
teman pasti bangga melihat kamu. Ternyata kamu anak yang rajin,” ucap Putri
bangga.
“Wah, wah, anak Ibu
sudah akrab kembali.” kata Ibu Putri dengan senang.
“Ini Nak Putri, ya teman
sekelas Dimas. Iya, Dimas cerita ia sering terlambat. Habisnya, Dimas
menunda-nunda waktu terus. Padahal Ibu sudah suruh cepat.”
Dimas tertawa. Pertanda
ia mengaku kesalahannya. Ia sering sekali menunda perkataan Ibunya. Ia berjanji
akan berangkat tanpa di suruh.
Senin pagi, Putri
bangun cepat sekali. Ia bergegas menuju pasar tempat Dimas berjualan.
“Bu, aku pergi ya. Aku
mau jemput Dimas biar enggak terlambat.” seru Putri dengan semangat. Ia pun
mengayuh sepedanya dengan cepat.
“Dimas, yuk kita
berangkat,” ajak Putri. Semenjak itu Dimas sangat menghargai waktu. Dengan
terbiasanya Putri menjemput selama seminggu, akhirnya Dimas jadi terbiasa dan
belajar menghargai waktu. Meski membantu Ibunya, ia pun belajar displin dengan
waktu. Akhirnya Dimas jadi tak pernah terlambat dari sekolahnya itu.
***
Kedaulatan Rakyat, 24 Oktober 2017
No comments:
Post a Comment